Al Jazeera: Soft Power Qatar?

Sayyid AM
8 min readJan 17, 2021

--

Al Jazeera headquarters, Qatar. Image: Inside Arabia

Qatar merupakan salah satu negara terkecil di Timur Tengah. Luasnya menurut Worldometer hanya 11,600 km persegi dengan populasi 2,8 juta. Namun, Qatar memiliki pengaruh yang sangat besar di kawasan. Oleh karena itu, Qatar terlibat dalam perebutan pengaruh dengan pemimpin Gulf Cooperation Council sekaligus tetangganya yang memiliki wilayah paling besar, Arab Saudi. Ketegangan antara Qatar dan Saudi memuncak pada 2017 yang memicu blokade oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain terhadap Qatar hingga saat ini.

Tentu cukup mengherankan bagaimana negara kecil seperti Qatar memiliki pengaruh yang besar sampai terlibat konflik dengan negara adikuasa di kawasan. Hal ini dapat terjadi karena Qatar tidak bergantung pada kekuatan militer dan ekonomi sebagai alat kebijakan luar negerinya. Ia menggunakan kekuatan lainnya, seperti olah raga, bantuan luar negeri, dan yang paling utama adalah media (Antwi-Boateng, 2013). Kekuatan terakhir hadir dalam Al Jazeera (baik versi Arabic maupun English), media yang didanai pemerintah Qatar yang telah mendunia dan paling berpengaruh di negara-negara Arab. Oleh karena itu, muncul pertanyaan yang akan berusaha dijawab melalui tulisan ini, yaitu bagaimana Qatar memanfaatkan Al Jazeera sebagai alat untuk mencapai ambisi kebijakan luar negerinya?

Dalam memahami tindakan Qatar, kita perlu menggunakan perspektif liberalisme, khususnya teori soft power yang dikemukakan oleh Joseph Nye. Seperti dikutip Gomichon (2013), Nye menyebut bahwa meski tidak bertentangan dengan realisme, soft power lebih dekat dengan liberalisme karena soft power menekankan pada kemungkinan kerja sama. Menurut Nye, pemerintah berupaya mencapai tujuan global mereka melalui dua jenis kekuasaan, yaitu hard power dan soft power. Seperti dikutip Heywood (2011), hard power adalah kemampuan untuk mengubah tindakan negara lain melalui bujukan atau ancaman yang mencakup kekuatan militer dan ekonomi. Sementara itu, soft power adalah kemampuan untuk membentuk preferensi negara lain menggunakan daya tarik dan persuasi dibandingkan paksaan. Hard power menggunakan sumber seperti pasukan, sanksi, pembayaran dan suap, sedangkan soft power beroperasi melalui budaya, political ideals, dan kebijakan luar negeri (terutama ketika hal tersebut terlihat menarik, sah, atau memiliki otoritas moral). Selain itu, Nye juga menjelaskan konsep smart power, yaitu gabungan dari hard power dan soft power di mana penggunaan soft power didukung kemungkinan penggunaan hard power. Dengan teori soft power, tulisan ini akan menganalisis bagaimana Qatar menggunakan Al Jazeera sebagai alat mencapai ambisi kebijakan luar negerinya dalam tiga argumen.

Argumen pertama, Qatar menggunakan Al Jazeera untuk meningkatkan reputasinya di mata kawasan dan dunia internasional. Al Jazeera merupakan media yang paling berpengaruh di kawasan. Hal ini didorong oleh beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan media Arab kebanyakan. Seperti dijelaskan Cherkaoui (2014), pertama, Al Jazeera mengambil model program yang modern dengan berkiblat pada BBC. Kedua, pemerintah Qatar — pada awalnya — tidak melakukan intervensi sehingga Al Jazeera memiliki kebebasan dalam menyusun programnya. Ketiga, Al Jazeera mendukung demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Ia membuka ruang debat isu-isu politik, sosial, dan agama yang kontroversial. Ia juga berani memberi panggung bagi oposisi untuk mengkritik rezim yang otoriter. Hal ini sangat kontras dengan media Arab kebanyakan yang hanya menjadi penyambung lidah pemerintah dan menayangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi baik di level nasional maupun internasional (Ayish, 2010).

Upaya Qatar untuk meningkatkan reputasinya cukup berhasil. Al Jazeera mampu mencitrakan bahwa Qatar mendukung kebebasan berekspresi dan telah beralih ke demokrasi (Ratchmell dan Schulzel, 2000). Liputan Al Jazeera English mengenai gerakan Intifada di Palestina, serangan AS di Afghanistan, dan Perang Irak berhasil membuat Al Jazeera semakin dipercaya sebagai sumber yang kredibel (karena media Barat tidak menayangkan hal tersebut, terutama dalam kasus Palestina) dan meraih perhatian dunia internasional (karena Al Jazeera lebih leluasa meliput dibandingkan media Barat). Dengan begitu, Qatar mendapat sorotan dunia internasional karena Qatar menjadi identik dengan Al Jazeera (Antwi-Boateng, 2013).

Sesuai dengan konsep yang dibawakan Nye, penggunaan Al Jazeera untuk meningkatkan reputasi Qatar menunjukkan bahwa Al Jazeera merupakan alat soft power bagi Qatar. Nilai-nilai yang dibawa Al Jazeera — misalnya political ideals mengenai demokrasi dan HAM — berperan sebagai daya tarik Qatar. Di kawasan, hal tersebut membuat Qatar menarik bagi pihak-pihak yang membenci otoritarianisme. Di dunia internasional, hal tersebut membuat Qatar menarik karena dinilai lebih maju dan beradab dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah. Dengan begitu, secara umum Qatar dipandang sebagai negara yang baik.

Tak heran, Qatar kerap dipilih sebagai tempat mediasi konflik, termasuk yang terbaru perjanjian damai AS-Taliban. Selain itu, audiens di level domestik dan internasional mendukung Qatar, posisinya, dan kebijakannya (Samuel-Azran dan Pecht, 2014). Dengan begitu, sulit bagi dunia untuk mengabaikan sanksi yang dilakukan Saudi terhadap Qatar. Mereka menaruh perhatian besar pada Qatar, berbeda dengan perhatian terhadap negara lain yang sebenarnya mendapat sanksi lebih parah dibandingkan Qatar (Al-Thani, 2017). Qatar dilihat sebagai negara kecil pendukung demokrasi yang diintimidasi oleh kekuatan otoriter regional. Padahal, Qatar sendiri sebenarnya menjalankan monarki. Al Jazeera sebagai media yang disponsori pemerintah Qatar tentunya hampir tidak pernah mengkritik keluarga kerajaan Qatar. Namun, Al Jazeera ternyata tidak dianggap sebagai alat propaganda seperti media pemerintah negara lain, malah ia berhasil meraih kepercayaan audiens dan menjadi alat soft power yang efektif. Hal ini disebabkan oleh strategi Qatar yang membiarkan Al Jazeera untuk memiliki kebebasan dan melaksanakan etika jurnalisme hampir di setiap kesempatan, kecuali pada momen tertentu di mana ia harus mengikuti kepentingan Qatar (Samuel-Azran, 2016).

Argumen kedua, Qatar menggunakan Al Jazeera sebagai alat tawar menawar dalam hubungan luar negerinya. Hal ini terlihat dalam kasus hubungan Qatar dengan Saudi yang mengalami krisis pada tahun 2002–2007, salah satunya karena kritik Al Jazeera terhadap Saudi. Akibatnya, Saudi menarik duta besarnya dari Qatar. Pada 2007, setelah keduanya sepakat berdamai, pemberitaan kritis Al Jazeera terhadap Saudi menghilang. Seperti dikutip Samuel-Azran (2013), staf Al Jazeera mengaku bahwa sebelumnya manajemen Al Jazeera kerap menyediakan pemberitaan negatif mengenai Saudi untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Pasca perjanjian damai, manajemen melarang adanya liputan mengenai Saudi tanpa persetujuan dari mereka. Samuel-Azran (2016) juga menemukan bahwa liputan negatif Al Jazeera Arabic mengenai Saudi meningkat pada masa krisis dari 13% menjadi 31% dan menurun drastis menjadi 3% di masa pasca konflik. Bahkan, dua persoalan HAM yang terjadi di Saudi pasca perjanjian tidak diberitakan oleh Al Jazeera.

Dari hubungan Qatar-Saudi tersebut, dapat dilihat bahwa Al Jazeera tidak digunakan untuk membentuk preferensi negara lain melalui daya tarik, tetapi digunakan sebagai alat dalam proses bujukan dan ancaman (Samuel-Azran, 2016). Bujukan dan ancaman tentu merupakan bagian dari paksaan yang menjadi ciri hard power. Sementara itu, nilai-nilai political ideals yang dipegang Al Jazeera dan terwujud dalam kritiknya terhadap Saudi adalah soft power. Qatar menggabungkan hard power dan soft power sehingga dalam kasus ini Al Jazeera merupakan alat smart power bagi Qatar. Dengan smart power tersebut, Qatar berhasil memaksa Saudi untuk menyelesaikan konflik mereka yang kemudian diikuti kerja sama keuangan dan penetapan resolusi sengketa perbatasan (Samuel-Azran, 2016). Selain itu, Qatar dengan cerdik hanya menggunakan Al Jazeera Arabic sebagai alat tawar menawar. Al Jazeera English sengaja digunakan untuk menjaga kepercayaan dunia internasional, terutama masyarakat Barat sehingga Al Jazeera tetap dapat berfungsi sebagai alat soft power (Samuel-Azran, 2016).

Argumen ketiga, Qatar menggunakan Al Jazeera untuk mencapai tujuannya sebagai pemimpin regional. Hal ini sangat terlihat sejak Arab Spring di mana terjadi gelombang demonstrasi di negara-negara Arab yang menuntut reformasi. Seperti dijelaskan Cherkaoui (2014), Qatar melihat Arab Spring sebagai kesempatan untuk mengubah peta kekuatan Timur Tengah. Maka, Qatar berpihak pada demonstran dan oposisi yang kebanyakan merupakan kelompok Islamis, terutama di Tunisia dan Mesir. Sementara itu, Saudi sebagai pemimpin negara Teluk, merasa stabilitas domestik dan kawasan terancam dengan adanya Arab Spring sehingga mendukung pemerintah. Akan tetapi, Qatar ternyata tetap mendukung pemerintah Bahrain dan Oman sebab letaknya yang terlalu dekat dipandang dapat mengancam Qatar (Samuel-Azran, 2016). Dualisme tersebut sangat berdampak pada liputan Al Jazeera mengenai Arab Spring. Pemberitaan situasi di Tunisia, Mesir, dan Libya sangat masif dengan porsi sorotan yang besar terhadap pihak demonstran. Sementara itu, pemberitaan situasi di Bahrain dan Oman sangat minim, bahkan kekerasan yang dilakukan pemerintah tidak diliput (Cherkaoui, 2014).

Pasca Arab Spring, Qatar semakin cenderung mendukung kelompok Islamis, terutama Muslim Brotherhood (MB). Hal ini dapat dipahami dalam konteks rivalitas Qatar-Saudi di mana Saudi sangat menentang kelompok tersebut. Dukungan MB terhadap demokrasi dan pemilihan umum dianggap mengancam keluarga kerajaan Saudi (Evans dan Nakhoul, 2019). Apalagi, saat Arab Spring, MB berhasil memimpin penggulingan rezim Mesir dan partai yang berafiliasi dengan MB juga berhasil meraih kekuasaan di Tunisia dan Libya. Pengaruh MB yang cukup besar inilah yang dianggap Qatar dapat mendukungnya untuk menjadi pemimpin regional sekaligus semakin menjauh dari Saudi (Steinberg dalam Cherkaoui, 2014). Oleh karena itu, Al Jazeera mengikuti kebijakan luar negeri Qatar tersebut dengan memberi ruang yang besar bagi MB dalam tayangan dan struktur manajemennya, serta membingkai peristiwa yang terjadi untuk mendukung MB (Cherkaoui, 2014).

Dari penggunaan Al Jazeera untuk mencapai ambisi Qatar sebagai pemimpin regional, dapat dilihat bahwa Al Jazeera digunakan sebagai alat soft power. Namun, political ideals yang dipromosikan Al Jazeera berubah mengikuti kebijakan Qatar yang mendukung MB. Oleh karena itu, dukungan terhadap Arab Spring tidak hanya semata dukungan terhadap demokrasi dan HAM, tetapi juga dukungan terhadap kelompok Islamis. Selain itu, Al Jazeera dalam kasus ini merupakan alat soft power yang cukup unik. Pemberitaan Al Jazeera yang masif sejak awal Arab Spring membuatnya mampu menggerakkan lebih banyak massa turun ke jalan sehingga akhirnya berhasil menggulingkan pemerintah negara lain (Samuel-Azran, 2016). Namun, melihat kondisi pasca Arab Spring di mana MB dibungkam di Mesir tempatnya didirikan dan dicap teroris oleh sebagian negara Arab, penggunaan Al Jazeera sebagai soft power belum berhasil mencapai tujuannya. Apalagi, pemberitaan Al Jazeera yang tidak berimbang membuatnya diragukan oleh sebagian kalangan.

Dapat disimpulkan bahwa Qatar menggunakan Al Jazeera sebagai alat untuk mencapai ambisi kebijakan luar negerinya. Pertama, Al Jazeera dengan political ideals demokrasi dan HAM yang dibawanya merupakan alat soft power untuk meningkatkan reputasi Qatar. Dengan begitu, negara lain akan bersikap baik dan mendukung tindakan Qatar. Kedua, Al Jazeera merupakan alat smart power karena digunakan sebagai alat tawar menawar dalam hubungan luar negeri Qatar. Al Jazeera digunakan dalam proses bujukan dan ancaman untuk memaksa negara lain bertindak sesuai kepentingan Qatar. Ketiga, Al Jazeera dengan political ideals Islamisme yang dibawanya merupakan alat soft power bagi Qatar untuk menjadi pemimpin regional. Al Jazeera berhasil menggerakkan demonstrasi, tetapi belum berhasil menjadikan Qatar sebagai pemimpin regional.

Referensi

Al-Thani, M. (2017). THE RISE OF QATAR AS A SOFT POWER AND THE CHALLENGES (Master). LEBANESE AMERICAN UNIVERSITY.

Antwi-Boateng, O. (2013). THE RISE OF QATAR AS A SOFT POWER AND THE CHALLENGES. European Scientific Journal, 9(31). Retrieved from https://eujournal.org/index.php/esj/article/view/2070

Ayish, M. (2010). Political Communication on Arab World Television: Evolving Patterns. Political Communication, 19(2), 137–154. doi: 10.1080/10584600252907416

Cherkaoui, T. (2014). Al Jazeera’s Changing Editorial Perspectives and the Saudi-Qatari Relationship. The Political Economy Of Communication, 2(1), 17–32.

Evans, D., & Nakhoul, S. (2019). Explainer: Who is targeting the MB?. Retrieved 16 May 2020, from https://www.reuters.com/article/us-usa-trump-muslimbrotherhood-explainer/explainer-who-is-targeting-the-muslim-brotherhood-idUSKCN1S90YX\

Gomichon, M. (2013). Joseph Nye on Soft Power. University of the West of England.

Heywood, A. (2011). Global Politics (1st ed.). Hampshire: Palgrave Macmillan.

Rathmell, A., & Schulze, K. (2000). Political reform in the Gulf: the case of Qatar. Middle Eastern Studies, 36(4), 47–62. doi: 10.1080/00263200008701331

Samuel-Azran, T. (2013). Al-Jazeera, Qatar, and New Tactics in State-Sponsored Media Diplomacy. American Behavioral Scientist, 57(9), 1293–1311. doi: 10.1177/0002764213487736

Samuel-Azran, T. (2016). Intercultural Communication as a Clash of Civilizations: Al-Jazeera and Qatar’s Soft Power. New York: Peter Lang.

Samuel-Azran, T., & Pecht, N. (2014). Is there an Al-Jazeera–Qatari nexus? A study of Al-Jazeera’s online reporting throughout the Qatari–Saudi conflict. Media, War & Conflict, 7(2), 218–232. doi: 10.1177/1750635214530207

World Map. (2020). Middle East Map / Map of the Middle East — Facts, Geography, History of the Middle East — Worldatlas.com. Retrieved 16 May 2020, from https://www.worldatlas.com/webimage/countrys/me.htm

Worldometer. (2020). Qatar Population (2020) — Worldometer. Retrieved 16 May 2020, from https://www.worldometers.info/world-population/qatar-population/

--

--

Sayyid AM
Sayyid AM

Written by Sayyid AM

International Relations Student at Universitas Gadjah Mada

No responses yet