Apartheid di India: Menelaah Lambatnya Perkembangan HAM Dalit

Sayyid AM
9 min readAug 30, 2021

--

Aksi Dalit Lives Matter. Sumber foto: Huff Post

Setelah gelombang protes Black Lives Matter muncul pada pertengahan tahun 2020 lalu, protes serupa turut terjadi di India. Perbedaannya, para demonstran mengampanyekan Dalit Lives Matter. Protes ini merupakan respons terhadap pembunuhan dan pemerkosaan seorang gadis Dalit oleh sekelompok orang di distrik Hathras, Uttar Pradesh (The Quint, 2020). Seperti Black Lives Matter yang hadir sebagai perlawanan terhadap opresi sistemik terhadap masyarakat kulit hitam, Dalit Lives Matter turut membawa semangat yang sama. Dalit merupakan sebutan bagi masyarakat non-kasta yang berada di India. Selama ratusan tahun, masyarakat India yang mayoritas beragama Hindu menjalankan sistem kasta yang berimplikasi pada kehidupan dan pekerjaan masyarakat. Terdapat empat kasta menurut ajaran Hindu, tetapi posisi Dalit berada di luar keempat kasta tersebut — dalam kata lain, Dalit menempati posisi terendah dalam masyarakat Hindu. Akibatnya, Dalit menjadi sasaran diskriminasi, segregasi, dan opresi oleh kasta-kasta di atasnya. Perdana Menteri India Manmohan Singh mengakui bahwa diskriminasi yang diterima Dalit setara dengan apartheid (Ahmed, 2011). Dalam kehidupan sehari-hari, Dalit Konstitusi India telah melarang praktik untouchable — eksklusi sosial — terhadap Dalit dan memiliki aturan-aturan untuk melindungi Dalit. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi Dalit telah mengalami perkembangan, tetapi diskriminasi terhadap Dalit terus eksis hingga kini. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui mengapa perkembangan perlindungan dan pemenuhan hak asasi Dalit berjalan lambat. Esai ini berargumen bahwa hal tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu banyaknya hambatan terhadap organisasi tuntutan Dalit dan pelanggaran hukum hak asasi Dalit oleh elite.

Esai ini menggunakan teori HAM dari protest school untuk menganalisis permasalahan HAM yang dialami oleh Dalit. Menurut Dembour (2010), protest school memberi perhatian terhadap hak asasi dari kalangan yang termarjinalkan. Protest school melihat hak asasi manusia sebagai klaim dan aspirasi yang menggugat status quo demi memperjuangkan kepentingan masyarakat yang teropresi. Dengan begitu, HAM tidak muncul tiba-tiba, tetapi harus dituntut. Selain itu, protest school memandang skeptis pelembagaan HAM dalam hukum. Menurut mereka, hukum dapat dibajak oleh elite (Dembour, 2010). Situasi ketidakadilan atau pelanggaran HAM akan terus ada sehingga proses mengklaim hak harus terus berlangsung, terlepas dari ada tidaknya hukum yang telah mengatur.

Argumen pertama mengenai lambatnya perkembangan perlindungan HAM terhadap Dalit adalah banyaknya hambatan terhadap organisasi tuntutan Dalit. Terdapat beberapa cara perjuangan untuk mengangkat hak-hak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Pertama, proses penuntutan melalui jalan politik, seperti partai BSP yang memiliki kedudukan kuat di Uttar Pradesh, benteng pertahanan politik kasta Hindu (Ahmed, 2011). India juga pernah memiliki seorang presiden Dalit, K.R. Narayan. Selain itu, beberapa anggota kabinet nasional dan hakim di mahkamah tinggi juga merupakan Dalit (Bob, 2007; Ahmed, 2011). Kedua, kelompok militan yang menggunakan kekerasan untuk merebut redistribusi tanah (HRW, 1999). Salah satu yang paling terkenal adalah Naxalites yang menyerang kasta atas, tuan tanah, dan pemimpin desa kemudian merebut tanah mereka.

Ketiga, kelompok aktivis masyarakat sipil yang berjuang melalui cara nirkekerasan. Kebanyakan merupakan LSM kecil yang berupaya meningkatkan kesadaran Dalit, membantu dalam perjuangan ekonomi sehari-hari, dan usaha untuk mempertahankan hak-hak mereka sesuai hukum (Bob, 2007). Meski begitu, aktivisme ini terdesentralisasi dan minim koordinasi secara nasional. Selain itu, laporan HRW (1999) menemukan bahwa banyak masyarakat Dalit yang melakukan resistensi terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami dari kasta atas, baik melalui protes damai maupun dengan sengaja melawan praktik untouchability yang ditujukan pada mereka. Sementara itu, Bob (2007) menyorot bagaimana tiga LSM Dalit pada awal 1980-an mulai memperjuangkan isu Dalit supaya mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Setelah melalui proses panjang, hal ini mulai membuahkan hasil pada akhir 1990-an ketika National Campaign on Dalit Human Rights (NCDHR) dan International Dalit Solidarity Network (ISDN) didirikan. Kedua institusi ini mendorong kesadaran mengenai diskriminasi terhadap Dalit dan menekan pemerintah India untuk mematuhi hukum yang berlaku.

Meskipun gerakan mengklaim HAM telah berlangsung sejak lama, perkembangan hak Dalit terkini menunjukkan bahwa pelanggaran hak-hak Dalit masih terjadi secara luas. Laporan dari The National Crime Records Bureau pada 2018 seperti dikutip Subramanyam (2020) merekam 42.793 kasus kejahatan terhadap Dalit. Dalam kata lain, setiap 15 menit terdapat satu orang Dalit yang mengalami kejahatan. Angka ini meningkat 66% selama satu dekade terakhir. Data tersebut diyakini tidak merepresentasikan jumlah sebenarnya karena umumnya banyak Dalit yang tidak berani melapor akibat takut pembalasan dari polisi dan kasta atas (HRW, 2007b). Selain itu, dalam situasi pandemi Covid-19, Dalit berada dalam situasi yang sangat riskan untuk terpapar Covid-19. Mereka merupakan essential worker yang tidak mendapat peralatan perlindungan diri yang cukup, tinggal di perkampungan rawan Covid-19, dan tidak dapat mengakses persediaan bahan pokok dan obat-obatan (Sur, 2020).

Apabila menganalisis perlindungan hak asasi Dalit menggunakan protest school, dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan yang telah dijelaskan bertujuan untuk menuntut pihak berkuasa untuk mengakui dan melindungi hak asasi Dalit sebagai kaum yang termarjinalkan dalam masyarakat India. Mereka memahami bahwa hak asasi Dalit tidak akan muncul begitu saja. Apabila Dalit berdiam diri, tentu hak asasi mereka akan terus dilanggar oleh kasta yang berada di atasnya. Oleh karena itu, hak asasi Dalit harus diklaim dan dituntut. Meskipun demikian, perkembangan perlindungan HAM yang lambat menurut protest school disebabkan oleh kegagalan dalam mengorganisasi tuntutan. Kegagalan ini diakibatkan oleh sulitnya mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh gerakan.

Dalam jalur politik, politikus yang berasal dari Dalit kerap harus berkoalisi dengan pihak-pihak non-Dalit sehingga mereka tidak leluasa untuk menuntut hak asasi Dalit. Selain itu, kerap kali keberadaan mereka dalam politik hanya sebagai bukti “representasi” dari komunitas Dalit dalam pemerintahan. Dengan begitu, keberadaan mereka hanya menjadi pencapaian semu dan tidak memberikan dampak signifikan pada pemenuhan hak asasi Dalit. Kemudian, kehadiran militan Dalit seperti Naxalites yang melakukan kekerasan terhadap kasta atas untuk meredistribusi tanah gagal menuntut hak atas tanah karena justru menyulut pembalasan yang sama kejamnya dari kasta atas dan polisi. Tindakan Naxalites berimplikasi pada persekusi polisi kepada orang-orang Dalit yang diduga simpati terhadap Naxalites. Di Bihar, kasta atas membentuk pasukan militer pribadi mereka dan menyebabkan ratusan kematian Dalit selama 1969–1999 (HRW, 1999).

Lebih lanjut, lobi-lobi dan kampanye yang dilakukan oleh NCDHR dan ISDN memang menjadikan hak asasi Dalit sebagai salah satu agenda institusi HAM internasional, tetapi belum memberi banyak dampak terhadap tindakan konkret pemerintah India. Mekanisme internasional hanya mampu memberi rekomendasi dan mempublikasikan kegagalan India dalam melindungi Dalit untuk menuntut kepatuhan India. Akan tetapi, pemerintah melihat bahwa hal tersebut adalah intervensi yang tidak legal terhadap urusan domestik sehingga pengaruhnya minim (Hanchinamani, 2001). Sementara itu, protes-protes damai yang dilakukan Dalit kerapkali bersifat reaksioner, misalnya merespons penangkapan tokoh mereka atau penghinaan terhadap patung tokoh Dalit, Ambedkar (HRW, 1999). Protes-protes ini juga kerap menerima pembalasan berupa kekerasan, boikot, bahkan pembunuhan, baik dari kasta atas maupun dari polisi. Oleh karena itu, organisasi tuntutan Dalit belum berhasil untuk menjamin terlindungi dan terpenuhinya hak asasi Dalit.

Argumen kedua mengenai lambatnya perkembangan perlindungan hak asasi Dalit disebabkan oleh pelanggaran hukum hak asasi Dalit oleh elite. Sejak awal kemerdekaan, hak asasi Dalit sudah diperjuangkan oleh B. R. Ambedkar, seorang Dalit yang turut menyusun konstitusi India. Hasilnya, konstitusi tersebut menghapus praktik untouchable, melarang diskriminasi kasta, menjamin akses terhadap fasilitas publik, dan mengamanatkan negara untuk memberikan tindakan afirmasi bagi Dalit (Hanchinamani, 2001). Konstitusi ini kemudian dilengkapi dengan aturan-aturan yang lebih spesifik.

Sesuai dengan generasi HAM pertama, pemerintah sebagai duty bearer seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik masyarakat Dalit (Domaradzki et al., 2019). Hal ini berusaha diwujudkan melalui Prevention of Atrocities Act (1989). Undang-undang ini merupakan perubahan dari dua undang-undang sejenis Untouchability Abolition Act (1955) dan Protection of Civil Rights (1976). Kedua undang-undang tersebut dianggap tidak cukup menghentikan kejahatan terhadap Dalit sehingga Atrocities Act diperkenalkan dengan memberi batasan yang jelas mengenai diskriminasi, penindasan ekonomi, penindasan terhadap perempuan Dalit, penindasan politik, kekejaman langsung terhadap Dalit, dan pelanggaran HAM (George, 2013).

Sementara itu, sesuai dengan generasi HAM ketiga, pemerintah harus berpartisipasi aktif untuk menyediakan hak kolektif Dalit yang diantaranya mencakup hak pembangunan sosial dan ekonomi, serta lingkungan yang sehat (Domaradzki et al., 2019). Untuk itu, pemerintah India menjalankan amanat konstitusi dalam Article 46 yang menyebut bahwa pemerintah harus mempromosikan kepentingan sosial dan ekonomi Dalit dengan perlakuan khusus (Thorat dan Senapati, 2007). Pemerintah India mewujudkannya terutama dalam tiga bidang, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan badan legislasi. Dalam bidang pendidikan, pemerintah memberi pendampingan finansial dan standar masuk yang lebih rendah (George, 2013). Dalam bidang pekerjaan, pemerintah mereservasi sebagian posisi pekerjaan untuk Dalit yang jumlahnya bervariasi setiap tahunnya, tetapi sekitar 16% dari keseluruhan pekerjaan (George, 2013). Dalam badan legislasi, terdapat 14% kursi yang diperuntukkan bagi masyarakat Dalit (Thorat dan Senapati, 2007).

Meskipun tidak dipungkiri aturan-aturan tersebut membawa kemajuan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak asasi Dalit, masih banyak masyarakat Dalit yang haknya dilanggar. Pelanggaran dilakukan oleh kalangan elite, baik yang berada di luar maupun di dalam pemerintahan. Secara khusus, pemerintah melakukan pelanggaran melalui du acara. Pertama, pemerintah tidak mengupayakan terlaksananya hukum tersebut atau dalam kata lain gagal memenuhi hak asasi Dalit. Resolusi dari Parlemen Eropa menyebut upaya pemerintah India untuk menegakkan hukum yang melindungi Dalit “grossly inadequate” (HRW, 2007b). Dalam laporan “Hidden Apartheid”, HRW (2007a) berkali-kali menulis bahwa pemerintah India gagal melindungi Dalit dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kasta atas.

Kedua, pemerintah terlibat langsung dalam melanggar hak asasi Dalit. Komisi HAM Nasional (NHRC) India mengatakan bahwa otoritas penegak hukum adalah pelanggar HAM terbesar (HRW, 2007a). Polisi menarget Dalit secara tidak proporsional, menggunakan hukum drakonian untuk menangkap Dalit, menyiksa dalam tahanan, melecehkan perempuan Dalit, merazia dan menjarah perkampungan Dalit, dan menolak mencatat kasus yang menimpa Dalit. Pemerintah India tidak menindaklanjuti rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional untuk mereformasi kepolisian. Selain itu, pemerintah dalam menjalankan kebijakan reservation-nya masih mengikuti pola diskriminasi yang ada di masyarakat. Misalnya, pembagian kerja di pemerintahan masih berbasis kasta sehingga Dalit banyak yang menjadi tukang sapu (HRW, 2007a). Dalam hal penyediaan housing bagi Dalit, pemerintah tidak mengubah segregasi spasial yang ada dalam masyarakat sehingga Dalit tetap mendapatkan fasilitas yang buruk, terutama terkait air dan sanitasi (HRW, 2007a).

Pelanggaran hukum yang melindungi hak asasi Dalit tersebut membuktikan ketidakpercayaan pendukung protest school terhadap hukum hak asasi manusia. Sebaik dan sedetail apapun hukum yang telah ditetapkan, hukum itu tidak akan berguna apabila elite membajaknya. Elite di India adalah kasta atas yang mendominasi pemerintahan atau setidaknya memiliki hubungan patronase dengan pemerintah. Maka, tidak mengherankan bila elite kemudian mengkhianati hukum yang ada karena mereka harus mempertahankan kedudukan spesial mereka yang didapatkan dari sistem kasta yang menindas Dalit.

Berdasarkan paparan yang telah disampaikan, organisasi tuntutan yang mengalami banyak hambatan dan pelanggaran hukum yang mengatur hak asasi Dalit oleh elite menyebabkan lambatnya perkembangan perlindungan dan pemenuhan hak asasi Dalit. Hambatan-hambatan yang dihadapi gerakan Dalit adalah sedikitnya sumber daya yang dimiliki akibat penindasan yang terus berlangsung, tidak terpusatnya gerakan-gerakan protes, rendahnya pengaruh tekanan internasional terhadap pemerintahan India, dan pembalasan yang dilakukan oleh kasta atas. Selain itu, pelanggaran hukum yang mengatur hak asasi Dalit dilakukan oleh elite dengan tidak dilaksanakannya hukum yang telah ada, baik yang bersumber dari konstitusi maupun undang-undang, dan terlibatnya pemerintah dan penegak hukum dalam melanggar hak asasi Dalit. Oleh karena itu, sesuai dengan pandangan protest school, perjuangan untuk mengklaim hak Dalit masih panjang dan harus terus berlanjut hingga pemerintah India melakukan tindakan konkret untuk melindungi dan memenuhi hak asasi Dalit.

Referensi

Ahmed, I. (2011). Secular versus Hindu nation-building Dalit, Adivasi, Muslim and Christian experiences in India. In I. Ahmed, The Politics of Religion in South and Southeast Asia. Oxon: Routledge.

Bob, C. (2007). “Dalit Rights Are Human Rights”: Caste Discrimination, International Activism, and the Construction of a New Human Rights Issue. Human Rights Quarterly, 29(1).

Dembour, M. (2010). What Are Human Rights? Four Schools of Thought. Human Rights Quarterly, 32(1), 3–6.

Domaradzki, S., Khvostova, M., & Pupovac, D. (2019). Karel Vasak’s Generations of Rights and the Contemporary Human Rights Discourse. Human Rights Review, 20(4), 423–443. doi: 10.1007/s12142–019–00565-x

George, G. (2013). HUMAN RIGHTS, DALITS AND THE POLITICS OF EXCLUSION. Afro Asian Journal Of Social Sciences, 4(4.1).

Hanchinamani, B. (2001). Human Rights Abuses of Dalits in India. Human Rights Brief, 8(2).

Human Rights Watch. (1999). Broken People: Caste Violence against India “Untouchables”. Human Rights Watch. Retrieved from https://www.hrw.org/report/2007/02/12/hidden-apartheid/caste-discrimination-against-indias-untouchables

Human Rights Watch. (2007a). Hidden Apartheid: Caste Discrimination against India “Untouchables”. Human Rights Watch. Retrieved from http://hrw.org/report/1999/03/01/broken-people/caste-violence-against-indias-untouchables

Human Rights Watch. (2007b). India: ‘Hidden Apartheid’ of Discrimination Against Dalits. Retrieved 20 June 2021, from https://www.hrw.org/news/2007/02/13/india-hidden-apartheid-discrimination-against-dalits

Human Rights Watch. (2021). India Events of 2020. Human Rights Watch. Retrieved from https://www.hrw.org/world-report/2021/country-chapters/india#7ebcf0

Subramanyam, G. (2020). They’re Hindu too but still feel at the bottom of India’s social ladder. Retrieved 15 June 2021, from https://www.nbcnews.com/news/world/india-dalits-still-feel-bottom-caste-ladder-n1239846

Sur, P. (2020). Under India’s caste system, Dalits are considered untouchable. The coronavirus is intensifying that slur. Retrieved 15 June 2021, from https://edition.cnn.com/2020/04/15/asia/india-coronavirus-lower-castes-hnk-intl/index.html

The Quint. (2020). After Hathras Horror, Dalit Lives Matter Protests Across the World. Retrieved 21 June 2021, from https://www.thequint.com/news/world/after-hathras-horror-dalit-lives-matter-protest-across-the-world#read-more#read-more

Thorat, S., & Senapati, C. (2007). Reservation in Employment, Education and Legislature — Status and Emerging Issues. Working Paper Series Indian Institute Of Dalit Studies, II(05). Retrieved from http://www.dalitstudies.org.in/download/wp/0705.pdf

--

--

Sayyid AM
Sayyid AM

Written by Sayyid AM

International Relations Student at Universitas Gadjah Mada

No responses yet