Komparasi Pembangunan Bangsa oleh Malaysia dan Thailand: Perbedaan Perlakuan Etnis Mayoritas terhadap Minoritas
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, banyak wilayah yang merdeka dan membentuk negara bangsa di mana penduduknya memiliki kesamaan kepentingan dan sentimen kedekatan sebagai suatu bangsa. Pembangunan bangsa bertujuan membangun persatuan nasional untuk memastikan berjalannya negara dengan baik (Alesina dan Reich, 2015; Saad, 2012). Pembangunan bangsa negara tetangga kita, yaitu Malaysia dan Thailand, sangat menarik untuk dikaji karena Malaysia adalah salah satu masyarakat multietnis yang paling stabil dan Thailand adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak dijajah.
Penduduk Malaysia terdiri atas tiga etnis besar, yaitu Melayu, Chinese, dan India dengan bahasa, agama, dan budaya yang sangat berbeda. Keberagaman ini sangat dipengaruhi oleh penjajahan Inggris di mana stabilitas pemerintahan Inggris dan perkembangan ekonomi menyebabkan datangnya imigran dari wilayah Indonesia, China, dan India. Selain itu, kebijakan Inggris yang membolehkan berkembangnya empat jenis sekolah berbasis bahasa menguatkan perbedaan identitas dan budaya, serta kesenjangan ekonomi antaretnis (Watson, 1980).
Pembangunan bangsa Malaysia sangat dipengaruhi oleh supremasi etnis Melayu. Sejak 1874, Inggris dan pemerintah Melayu menandatangani perjanjian yang memberi hak-hak spesial bagi Melayu, terutama setelah kedatangan non-Melayu yang membuat Melayu merasa tersisihkan (Kheng dalam Wang, 2005). Sebabnya, wilayah urban, sektor manufaktur, dan perdagangan didominasi oleh Chinese, sedangkan Melayu kebanyakan tinggal di pedesaan dan bekerja di sektor agrikultur (Watson, 1980). Oleh karena itu, perjanjian mengenai konstitusi Malaysia menyepakati adanya hak spesial Melayu dan sebagai gantinya non-Melayu mendapat regulasi kewarganegaraan liberal dan tetap dapat menjalankan budayanya (Saad, 2012).
Kebijakan pembangunan bangsa pasca kemerdekaan berfokus pada bagaimana menyatukan etnis yang berbeda dan meningkatkan taraf kehidupan Melayu. Persatuan nasional dimulai dengan menyeragamkan kurikulum di seluruh sekolah karena pendidikan merupakan saluran utama untuk mempromosikan identitas nasional dan kebangsaan. Pemerintah kemudian juga mengatur kembali pendidikan sejalan dengan kebutuhan ekonomi dan penguatan identitas Melayu. Selain itu, bahasa nasional disadari sebagai instrumen yang penting untuk mencapai persatuan dalam masyarakat multikultural. Maka, bahasa Melayu sebagai bagian dari hak spesial Melayu diputuskan menjadi bahasa nasional (Watson, 1980).
Tuntutan penerapan Malaysian Malaysia oleh non-Melayu yang menekankan pada perlakuan seluruh warga negara secara setara berujung pada kerusuhan etnis setelah hasil pemilu 1969 dianggap mengancam hegemoni Melayu. Setelah itu, prinsip nasional Rukunegara yang Melayu-sentris diperkenalkan sebagai alat persatuan (Watson, 1980). Pemerintah mengeluarkan National Culture Policy (NCP) yang mengembangkan budaya nasional dominan Melayu. New Economic Policy juga ditetapkan dengan tujuan menciptakan kondisi untuk persatuan nasional dengan mengurangi kebencian antaretnis akibat kesenjangan sosial-ekonomi (Saad, 2012). Meskipun kebijakan yang diambil kerap pro-Melayu, pemerintah sebetulnya selalu berusaha membuat kompromi dan mengakomodasi kepentingan kelompok nasionalis Melayu dan nasionalis multietnis demi menjaga perdamaian dan harmoni antaretnis (Kheng dalam Wang, 2005). Selain itu, semua perdana menteri terus berusaha untuk mewujudkan persatuan nasional, misalnya Mahathir mempopulerkan “Bangsa Malaysia” dan Najib mendorong “Satu Malaysia” (Saad, 2012).
Di Thailand pula, persentase jumlah penduduk beretnis Thai cukup besar, yaitu 75%, diikuti oleh Chinese 14% dan etnis lain termasuk Melayu 11% (Encyclopedia, 2020). Kebijakan pembangunan bangsa yang diambil terhadap Chinese dan Melayu berbeda mengikuti latar belakang etnis yang berbeda. Menurut Skinner seperti dikutip Teng (1958), etnis Chinese telah bermukim di Teluk Siam sebelum berdirinya Kerajaan Thai. Menurut Skinner seperti dikutip Bun dan Kiong (1993), mayoritas keturunan Chinese telah menyatu dengan masyarakat dan tidak terpisahkan dari penduduk asli hingga keadaan di mana generasi keempat Chinese secara praktis tidak ada. Bukti-bukti yang ditemukan, seperti tidak adanya neighborhood segregation, kebebasan Chinese untuk bepergian, dan peran vital dalam perekonomian Thailand. Ia berargumen bahwa kesamaan-kesamaan kedua etnis menjadi faktor pendorong asimilasi, diantaranya makanan, Buddhisme, dan penampilan fisik yang mirip. Pemerintah Thai juga berperan melalui kebijakan- kebijakan yang diambil, seperti usaha mengintegrasikan sekolah Chinese dalam sistem pendidikan nasional. Pada 1947, PM Phibun menerapkan kebijakan asimilasi yang ketat. Sekolah Chinese ditutup, larangan melakukan aktivitas yang bukan ciri khas Thai, dan penempatan pejabat Thai di petinggi perusahaan Chinese (Skinner dalam Teng, 1958).
Seperti dijelaskan Storey (2007), upaya peleburan etnis Melayu pula melalui jalan yang penuh kekerasan. Etnis Melayu yang bertempat di selatan Thailand sebelumnya adalah bagian dari Kerajaan Islam Patani. Secara ringkas, wilayah tersebut kemudian dikuasai Kerajaan Thai. Pada masa PM Phibun, kebijakan untuk mengubah muslim Melayu menjadi muslim Thai diterapkan. Hari libur keagamaan dihilangkan, pakaian, bahasa tradisional, dan hukum syariah dilarang. Mereka juga didorong mengganti nama yang bernuansa Thai. Pemerintah juga menekankan konsep mantra, yaitu bangsa Thai, agama Buddha, dan Raja Bhumibol Adulyadej.
Melihat strategi pembangunan bangsa yang dilakukan Malaysia dan Thailand, dapat disimpulkan bahwa kedua negara mengambil model pembangunan bangsa yang sangat berbeda. Hal ini turut dipengaruhi oleh komposisi etnis dan sejarah penjajahan. Penjajahan Inggris membuat etnis Melayu di Malaysia merasa terpinggirkan. Selain itu, mereka merasa sebagai penduduk asli/bumiputra yang lebih berhak dibanding etnis lainnya. Maka dari itu, kebijakan yang diambil sangat berorientasi pada penguatan supremasi Melayu. Di sisi lain, persatuan nasional terus diupayakan dengan tetap mengakui keragaman budaya yang ada. Dengan begitu, model pembangunan bangsa Malaysia kurang tepat bila dikategorikan sebagai asimilasi atau cultural pluralism seperti yang dijelaskan Watson (1980). Menurut Kershaw dalam Watson (1980), pembangunan bangsa di Malaysia membentuk jenis baru masyarakat plural yang dijuluki Malayocracy di mana etnis non-Melayu memiliki peran yang sangat kecil.
Sementara itu, absennya penjajahan di Thailand menyebabkan pembangunan bangsa bebas dari pengaruh kolonial. Etnis Thai sangat bangga dan melindungi pelaksanaan tradisinya (Skinner dalam Bun dan Kiong, 1993). Jumlah minoritas pun cukup kecil dibandingkan mayoritas etnis Thai sehingga Thai cenderung ingin mempertahankan dominasinya dan mendorong bahkan memaksa supaya etnis minoritas mengadopsi nilai-nilai dan identitas Thai demi tercapai satu bangsa Thailand. Oleh karena itu, model pembangunan bangsa Thailand masuk dalam kategori asimilasi.
Pembangunan bangsa di Malaysia dapat dikatakan cukup berhasil mengingat supremasi Melayu cukup diterima oleh etnis non-Melayu (mendebatnya dianggap menantang sistem politk yang berjalan) dan konflik etnis berskala besar sangat jarang terjadi. Namun, konsekuensi dari supremasi Melayu adalah persaingan antara nasionalis Melayu dan nasionalis multietnis akan terus terjadi, seperti protes kelompok Chinese terhadap NCP yang dianggap meminggirkan budaya minoritas. Hal ini juga cukup menguat belakangan ini dengan meningkatnya populisme sayap kanan (Islam) di satu sisi dan kesadaran mengenai kesetaraan etnis di sisi lain. Contohnya adalah perdebatan mengenai status Malaysia sebagai negara Islam (Kheng dalam Wang, 2005) dan mengenai ratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang meninmbukan demonstrasi besar pada 2018.
Di sisi lain, pembangunan bangsa di Thailand memberi hasil yang berbeda pada etnis yang ada. Asimilasi etnis Chinese dianggap cukup berhasil dengan indikator bahwa mereka mengadopsi nilai-nilai Thai, berbicara bahasa Thai, pergi ke sekolah Thai, mengikuti organisasi Thai, dan merayakan festival keagamaan Thai. Mereka juga mengidentifikasi diri sebagai Thai, bukan warga China dan tunduk pada monarki Thai (Bun dan Kiong, 1993). Asimilasi etnis Melayu yang penuh paksaan gagal karena mereka tetap mempertahankan identitas mereka. Melayu menganggap pemerintah mengancam identitas agama, budaya, dan bahasa mereka sehingga menyulut gerakan separatis yang kerap melakukan aksi pemberontakan berskala kecil. Pada 1980-an, pemerintah Thailand memulai penyelesaian dengan pendekatan politik dan ekonomi yang cukup berhasil. Namun, situasi di awal abad ke-21 kembali memburuk akibat persoalan ekonomi, marginalisasi, dan respon pemerintah yang keras (Storey, 2007).
Referensi
Alesina, A. and Reich, B. (2015). Nation-building. Working paper, Department of Economics, Harvard University.
Bun, C., & Kiong, T. (1993). Rethinking Assimilation and Ethnicity: The Chinese in Thailand. International Migration Review, 27(1), 140. doi: 10.2307/2546705
“Thailand .” Worldmark Encyclopedia of Nations . . Retrieved April 28, 2020 from Encyclopedia.com: https://www.encyclopedia.com/history/encyclopedias-almanacstranscripts-and-maps/thailand
Kheng, C. (2005). Ethnicity in the Making of Malaysia. In G. Wang (Ed.), Nation Building: Five Southeast Asian Histories (pp. 91–116). ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Saad, S. (2012). Re-building the Concept of Nation Building in Malaysia. Asian Social Science, 8(4). doi: 10.5539/ass.v8n4p115
Storey, I. (2008). Southern Discomfort: Separatist Conflict in the Kingdom of Thailand. Asian Affairs: An American Review, 35(1), 31–52. doi: 10.3200/aafs.35.1.31–52
Teng, S. (1958). Review. The American Historical Review, 63(3), 686–687. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/1848920
Watson, J. (1980). Cultural pluralism nation‐building and educational policies in peninsular Malaysia. Journal of Multilingual And Multicultural Development, 1(2), 155–174. doi: 10.1080/01434632.1980.9994008