Obama, Harapan Perdamaian Dunia, dan Perang yang Tidak Berkesudahan
Esai ini akan mendiskusikan kebijakan perang Obama, utamanya di Timur Tengah. Pada awal periode pertamanya, Obama berjanji akan mengakhiri perang di Irak dan Afghanistan. Janji ini dilanjutkan oleh janji berikutnya pada awal periode kedua untuk mengakhiri perang terhadap terorisme.[1] Akan tetapi, hasil berkata sebaliknya. Selama delapan tahun pemerintahan Obama, Amerika Serikat (AS) terus terlibat aktif dalam peperangan. Hal ini menarik untuk dikaji karena Obama sendiri merupakan pemenang Nobel Perdamaian tahun 2009. Selain itu, ia turut berjanji untuk mengedepankan diplomasi dan multilateralisme alih-alih pengerahan kekuatan militer.[2] Saya percaya bahwa gagalnya Obama untuk memenuhi janjinya disebabkan oleh pandangan Obama bahwa tidak ada pilihan lain selain berperang. Untuk itu, saya akan memusatkan argumen saya pada tiga argumen. Pertama, Obama percaya bahwa perang adalah sesuatu yang dapat dibenarkan. Kedua, Obama melihat AS harus menjalankan perannya sebagai pemimpin dunia. Ketiga, Obama menempatkan kepentingan strategis nasional AS sebagai prioritas utama.
Berlarut-larutnya perang selama pemerintahan Obama disebabkan oleh pandangan Obama yang melihat perang sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan. Pandangan ini sangat terlihat dalam pidato Obama saat menerima hadiah Nobel Perdamaian 2009. Ia menggunakan kesempatan ini untuk menjustifikasi perang yang dilakukan oleh AS. Obama menyebut bahwa “evil” eksis di dunia dan ia tidak bisa membawa AS melawannya tanpa kekerasan.[3] Menurutnya, perang adalah instrumen untuk mempertahankan perdamaian. Oleh karena itu, pengerahan kekuatan militer untuk pertahanan diri dan kepentingan humaniter dapat dibenarkan. Meski begitu, Obama menegaskan bahwa semua negara harus mematuhi standar dan aturan internasional yang telah ditetapkan. Obama juga menawarkan tiga alternatif untuk menghindari perang, yaitu menghukum negara yang melanggar hukum internasional, menyebarkan nilai-nilai HAM, dan mengupayakan keamanan ekonomi. Hal ini berangkat dari keyakinan Obama bahwa perdamaian tidak semata berarti absennya konflik, tetapi adanya pemenuhan hak dan martabat yang melekat pada setiap individu.
Bagaimana bila pernyataan Obama tersebut dibawa ke dalam konteks perang selama administrasinya? Terorisme masih dianggap sebagai ancaman utama bagi keamanan AS. Terdapat dua contoh kebijakan yang diambil Obama dalam menghadapi terorisme. Pertama, pengerahan drone pembunuh secara masif di berbagai wilayah. Hal ini membawa keberhasilan ketika serangan drone berhasil membunuh banyak pasukan Al-Qaeda. Meskipun begitu, strategi ini memiliki implikasi yang sangat fatal di mana ia menyebabkan ratusan kematian warga sipil.[4] Kedua, Obama menambah 30.000 personel ke Afghanistan dengan tujuan mempercepat proses perlawanan terhadap Taliban dengan melatih pasukan keamanan Afghanistan.[5] Pada akhirnya, Obama tidak menepati janjinya untuk mengakhiri perang di Afghanistan dengan menunda penarikan 9.800 personel di akhir masa jabatannya.[6] Kedua kasus ini dapat menjadi penggambaran bahwa perang — menurut Obama — dapat dibenarkan untuk mempertahankan diri, dalam hal ini dari ancaman terorisme.
Sementara itu, serangan militer atas dasar intervensi kemanusiaan sangat terkenal dalam kasus Libya. Saat itu, Muammar Gaddafi, presiden Libya, melakukan kekejaman kepada rakyatnya sendiri. AS bersama negara-negara NATO dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB kemudian mengirimkan serangan militer ke Libya. Mereka berhasil menggulingkan Gaddafi. Meskipun begitu, kurangnya perencanaan pembangunan pasca intervensi menyebabkan Libya jatuh ke dalam perang sipil hingga hari ini. Contoh lainnya adalah kebijakan yang diambil Obama dalam perang sipil Suriah. Obama memerintahkan militer AS untuk mendukung kelompok pemberontak terhadap Bashar Al-Assad yang terbukti menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya. Dukungan diberikan dalam bentuk persenjataan, peralatan, pelatihan, dan sumber daya.[7] Kedua kasus ini menunjukkan bagaimana intervensi kemanusiaan menggunakan kekuatan militer — menurut Obama — perlu dilakukan untuk melawan kejahatan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya.
Dukungan Obama terhadap perang untuk mencapai ‘perdamaian’ atau yang dikenal dengan konsep just warmemberi jawaban mengapa seorang presiden yang memiliki citra sebagai pendukung perdamaian justru membawa AS ke dalam perang yang berterusan. Obama bukanlah seorang pasifis. Sesuai dengan isi pidatonya, Obama melihat perang sebagai cara yang dapat dibenarkan untuk pertahanan diri dan kepentingan humaniter. Meskipun ia sendiri menawarkan alternatif perang dan telah mendorong penggunaan diplomasi, Obama tetap memilih opsi pengerahan militer. Maka, kita menyaksikan bagaimana Obama tidak menyelesaikan perang, tetapi justru menambah keterlibatan AS dalam perang-perang baru.
Argumen kedua mengapa perang terus berlangsung adalah pandangan Obama bahwa AS harus menjalankan perannya sebagai pemimpin dunia. Saat mencalonkan diri menjadi presiden, Obama menulis bahwa dunia membutuhkan kepemimpinan AS untuk menghadapi permasalahan abad ke-21 yang lebih kompleks.[8] Setelah Perang Irak yang dicetuskan Bush, citra AS memburuk di mata dunia, termasuk di mata negara sahabatnya sendiri — negara-negara Eropa. Maka, tidak heran bila Obama berkampanye untuk mengembalikan kepemimpinan AS.
Kepercayaan mengenai kepemimpinan AS tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan atas American exceptionalism. Warga AS percaya bahwa AS adalah kekuatan terbesar di dunia — didukung oleh kekuatan ekonomi dan militernya, serta superioritas nilai-nilai Amerika, yaitu kemerdekaan dan kebebasan.[9] Posisi tersebut memberi tanggung jawab bagi AS untuk memimpin dunia. Kepercayaan ini telah memandu politik luar negeri bagi banyak presiden AS, tak terkecuali Obama. Meskipun demikian, ia memiliki penafsiran yang cukup berbeda mengenai American exceptionalism. Baginya, AS tetap akan menjadi kekuatan yang paling berkuasa, tetapi bukan satu-satunya aktor yang mendominasi politik internasional.[10] Melalui pengedepanan kerja sama, pembagian beban dengan negara lain, dan pengurangan pengerahan militer, Obama ingin mengurangi beban kepemimpinan AS.
Pandangan Obama tersebut sangat terlihat dalam kebijakan perangnya di Libya dan Suriah. Dalam intervensi Libya, AS hanya terlibat pada serangan awal. Setelah itu, Obama menarik diri dari proses lanjutan dan menyerahkannya pada Inggris dan Prancis.[11] Dalam perang sipil Suriah, Obama memutuskan untuk tidak mengirimkan serangan militer berskala besar dengan mempertimbangkan kompleksitas konflik dan biaya yang besar. Sebaliknya, Obama menyerahkan persoalan senjata kimia Bashar Al-Assad kepada Rusia.[12] Kedua kebijakan ini kerap menjadi rujukan bagaimana Obama mengurangi keterlibatan militer. Meski begitu, hal tersebut sebenarnya bukan sebuah perubahan mendasar dari kepemimpinan AS.[13] Dalam kata lain, tujuan politik luar negeri AS tetap, hanya cara mencapainya yang berubah.[14]Obama tetap memandang bahwa AS berhak atas kepemimpinan dunia dan hal tersebut diwujudkannya dengan membawa AS terlibat dalam perang-perang selama administrasinya. Perang melawan terorisme — berupa serangan drone dan pengerahan militer untuk menumpas ISIS — dipimpin oleh AS. Dalam intervensi Libya, AS berperan dalam mengamankan resolusi DK PBB dan melakukan penyerangan pertama.[15] Sementara itu, dalam konflik Suriah, pasukan AS tetap memberi dukungan terhadap pasukan pemberontak yang melawan Bashar Al-Assad. Dalam berbagai kesempatan, Obama juga tetap menekankan karakteristik exceptional dari AS.[16] Dengan begitu, meski terdapat pengurangan keterlibatan AS, pada akhirnya Obama tetap melihat kedudukan dan peran AS sebagai negara adidaya yang memimpin dunia.
Kepercayaan atas American exceptionalism dan pentingnya kepemimpinan AS merupakan nilai yang sudah terinternalisasi dalam politik luar negeri AS. Akibatnya, aktor politik luar negeri AS mengalami white savior complex di mana persoalan dunia dianggap hanya mampu diselesaikan dengan bantuan AS. Meski “tugas mulia” ini tidak jarang berkelindan dengan kepentingan nasional, mereka tetap berangkat dari keyakinan mengenai superioritas Amerika. Pidato Obama saat menerima Nobel Perdamaian turut menggarisbawahi sumbangsih AS bagi keamanan dunia. Oleh karena itu, bukanlah suatu yang mengherankan bila Obama meneruskan kebijakan pengerahan militer sebagai bagian dari kontinuitas kepemimpinan AS. Hal ini sekaligus membantah pendapat sebagian pihak yang menyebut bahwa Obama mengedepankan strategi restraint alih-alih primacy.[17]
Argumen ketiga mengenai gagalnya Obama untuk menarik AS dari perang di Timur Tengah adalah diprioritaskannya kepentingan strategis nasional. Keterlibatan AS dalam perang bukan sebagai bentuk pertahanan diri, intervensi kemanusiaan, atau menjalankan peran sebagai pemimpin dunia, melainkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Untuk melihat perbedaannya, dukungan AS terhadap intervensi Saudi di Yaman adalah kasus yang cukup jelas. Latar belakang dari intervensi Saudi adalah pemberontakan Syiah Houthi terhadap penguasa Yaman, Hadi, yang merupakan sekutu Saudi. Permintaan bantuan dari Hadi ditambah ketakutan Saudi atas hubungan Syiah Houthi dengan Iran mendorong Saudi bersama dengan aliansinya melakukan intervensi dengan menyerang Yaman.
Obama memutuskan untuk memberi dukungan bagi Saudi. Dukungan ini diwujudkan dalam penyediaan intelijen, aerial refueling, dan logistik lainnya, serta penjualan senjata kepada Saudi.[18] Pejabat senior menyebut bahwa Obama mendukung Saudi karena adanya ancaman yang legitimate dari misil yang berada di perbatasan Saudi dan digulingkannya pemerintah Yaman oleh pemberontak Houthi yang didukung Iran.[19] Meski begitu, hubungan Houthi dan Iran sebenarnya diperdebatkan sehingga tidak ada ancaman serius secara langsung bagi keamanan AS maupun urgensi adanya intervensi kemanusiaan. Bahkan, dukungan AS terhadap Saudi justru berkontribusi terhadap krisis kemanusiaan di Yaman. Maka, apa sebenarnya yang menjadi pendorong Obama untuk mendukung Saudi? Hal ini tak lain disebabkan oleh status Saudi sebagai sekutu AS di Timur Tengah. Apalagi, hubungan keduanya sedang tidak memburuk akibat negosiasi perjanjian nuklir Iran. Oleh karena itu, Obama mempertimbangkan bahwa dukungan terhadap Saudi dapat membawa keuntungan lebih untuk mengembalikan hubungan harmonis kedua negara dengan harga sebuah krisis kemanusiaan baru di Yaman.[20] Bantuan ini menggambarkan bagaimana Obama melibatkan AS dalam perang untuk mengejar kepentingan strategis nasional.
Ketiga argumen di atas, yaitu kepercayaan Obama bahwa perang dapat dibenarkan, pelaksanaan peran AS sebagai pemimpin dunia, dan pengejaran kepentingan strategis nasional telah menunjukkan bahwa gagalnya Obama untuk memenuhi janjinya disebabkan oleh tidak adanya pilihan selain perang. Meski Obama telah melakukan upaya-upaya untuk mengakhiri perang dengan mengurangi pengerahan kekuatan militer dan pembagian beban dengan negara lain, Obama tetap mengerahkan kekuatan militer AS ke berbagai wilayah di dunia. Maka, tidak heran bila delapan tahun kepemimpinan Obama salah satunya dicirikan dengan perang yang tidak berkesudahan, utamanya di Timur Tengah.
Daftar Pustaka/Kepustakaan
Artikel dalam jurnal
Byman, D., ‘Yemen’s Disastrous War,’ Survival, vol. 60, no. 5, 2018, pp. 141–158.
Clarke, M. & Ricketts, A., ‘Did Obama have a grand strategy?,’ Journal of Strategic Studies, vol. 40, no. 1–2, 2017, pp. 295–324.
Gilmore, J., Sheets, P. & Rowling, C., ‘Make no exception, save one: American exceptionalism, the American presidency, and the age of Obama,’ Communication Monographs, vol. 83, no. 4, 2016, pp. 505–520.
Glaser, J. & Thrall, T., ‘Obama’s Foreign Policy Legacy and the Myth of Retrenchment,’ CATO Working Paper, no. 43, 24 April 2017, pp. 1–22.
Krieg, A., ‘Externalizing the burden of war: the Obama Doctrine and US foreign policy in the Middle East,’ International Affairs, vol. 92, no. 1, 2016, pp. 97–113.
Löfflmann, G., ‘Leading from Behind — American Exceptionalism and President Obama’s Post-American Vision of Hegemony,’ Geopolitics, vol. 20, no. 2, 2015, pp. 308–332.
Lynch, M., ‘Obama and the Middle East: Rightsizing the U.S. Role,’ Foreign Affairs, vol. 94, no. 5, September/October 2015, pp. 18–27.
Nünlist, C., ‘The Legacy of Obama’s Foreign Policy,’ CSS Analyses in Security Policy, no. 188, March 2016, pp. 1–4.
Obama, B., ‘Renewing American Leadership,’ Foreign Affairs, vol. 86, no. 4, July-August 2007, pp. 2–16.
Terbitan pemerintah
The White House Office of the Press Secretary, Remarks by the President at the Acceptance of the Nobel Peace Prize, Obama White House, Oslo, 2009.
Artikel daring (dengan penulis)
Parsons, C. & Hennigan, W.J., ‘Presiden Obama, who hoped to sow peace, instead led the nation in war,’ LA Times (daring), 13 January 2017, https://www.latimes.com/projects/la-na-pol-obama-at-war/, diakses 6 Juni 2021.
Artikel daring (dengan organisasi pemilik/penerbit artikel)
‘Obama Officials’ Incomplete Reckoning with Failure on Yemen,’ Human Rights Watch (daring), 19 November 2018, https://www.hrw.org/news/2018/11/19/obama-officials-incomplete-reckoning-failure-yemen, diakses pada 18 Juni 2021.
[1] C. Parsons & W.J. Hennigan, ‘Presiden Obama, who hoped to sow peace, instead led the nation in war,’ LA Times (daring), 13 January 2017, https://www.latimes.com/projects/la-na-pol-obama-at-war/, diakses 6 Juni 2021.
[2] M. Clarke & A. Ricketts, ‘Did Obama have a grand strategy?,’ Journal of Strategic Studies, vol. 40, no. 1–2, 2017, p. 295.
[3] The White House Office of the Press Secretary, Remarks by the President at the Acceptance of the Nobel Peace Prize, Obama White House, Oslo, 2009.
[4] Clarke & Ricketts, p. 310.
[5] J. Glaser & T. Thrall, ‘Obama’s Foreign Policy Legacy and the Myth of Retrenchment,’ CATO Working Paper, no. 43, 24 April 2017, p. 14.
[6] Glaser & Thrall, p. 15.
[7] Glaser & Thrall, p. 8.
[8] B. Obama, ‘Renewing American Leadership,’ Foreign Affairs, vol. 86, no. 4, July-August 2007, p. 2.
[9] G. Löfflmann, ‘Leading from Behind — American Exceptionalism and President Obama’s Post-American Vision of Hegemony,’ Geopolitics, vol. 20, no. 2, 2015, p. 311.
[10] G. Löfflmann, p. 313.
[11] G. Löfflmann, p. 320.
[12] C. Nünlist, ‘The Legacy of Obama’s Foreign Policy,’ CSS Analyses in Security Policy, no. 188, March 2016, p. 4.
[13] G. Löfflmann, p. 327.
[14] A. Krieg, ‘Externalizing the burden of war: the Obama Doctrine and US foreign policy in the Middle East,’ International Affairs, vol. 92, no. 1, 2016, p. 103.
[15] G. Löfflmann, p. 320.
[16] J. Gilmore, P. Sheets, & C. Rowling, ‘Make no exception, save one: American exceptionalism, the American presidency, and the age of Obama,’ Communication Monographs, vol. 83, no. 4, 2016, p. 506.
[17] Glaser & Thrall, pp. 12–17.
[18] D. Byman, ‘Yemen’s Disastrous War,’ Survival, vol. 60, no. 5, 2018, p. 155.
[19] ‘Obama Officials’ Incomplete Reckoning with Failure on Yemen,’ Human Rights Watch (daring), 19 November 2018, https://www.hrw.org/news/2018/11/19/obama-officials-incomplete-reckoning-failure-yemen, diakses pada 18 Juni 2021.
[20] M. Lynch, ‘Obama and the Middle East: Rightsizing the U.S. Role,’ Foreign Affairs, vol. 94, no. 5, September/October 2015, p. 24.